Oleh : Ikhsan Buyung Kalean, Presiden Mahasiswa Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan pilar utama dalam sistem keamanan sipil dan penegakan hukum di Indonesia. Pasca-reformasi 1998, Polri dipisahkan dari TNI melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan TAP MPR No. VII/MPR/2000, serta dipertegas dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Langkah ini menegaskan orientasi Polri sebagai aparat sipil yang profesional dan netral dari kepentingan politik.
Agenda reformasi Polri menekankan pada tiga aspek yaitu : (1) restrukturisasi kelembagaan, (2) perubahan kultural, dan (3) peningkatan profesionalisme. Setelah lebih dari dua dekade, agenda tersebut memperlihatkan pencapaian struktural dan instrumental yang cukup signifikan, seperti pemisahan dari militer, modernisasi layanan, dan pembentukan dasar hukum baru. Namun, reformasi kultural terbukti jauh lebih sulit. Nilai-nilai demokrasi, penghormatan HAM, dan paradigma pelayanan publik belum sepenuhnya menjadi kultur dominan dalam tubuh Polri.
Dari perspektif teori kelembagaan, agenda reformasi Polri masih bersifat “institutional isomorphism”, yakni perubahan formal (aturan, struktur), tetapi belum menyentuh deep structure berupa budaya organisasi dan perilaku aparat. Akibatnya, Polri masih menghadapi dilema antara menjadi aparat negara yang tunduk pada kekuasaan politik atau menjadi polisi sipil yang independen dan demokratis. Dalam konteks ini, gagasan Restorasi Polri merupakan upaya memperdalam dan melanjutkan agenda reformasi dan sebagai jalan untuk membangun Polri yang benar-benar demokratis, humanis, dan dipercaya masyarakat dengan menekankan pada transformasi kultural serta instrumental Kepolisian Republik Indonesia. Transformasi kultural diarahkan pada perubahan paradigma, etika, dan perilaku aparat; sedangkan transformasi instrumental berfokus pada regulasi, struktur kelembagaan, dan modernisasi teknologi.
Restorasi Polri : Transformasi Kultural & Instrumental
Restorasi Polri merupakan langkah penting dalam mewujudkan kepolisian yang lebih humanis dan demokratis. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa kepolisian bukan hanya sebagai alat penegakan hukum, tetapi juga sebagai institusi yang melayani masyarakat. Transformasi ini harus dimulai dari pemahaman bahwa kepolisian harus berfungsi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Dalam banyak kasus, tindakan represif dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian justru menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, restorasi Polri harus mencakup perubahan mendasar dalam etika dan perilaku aparat kepolisian.
Lebih jauh lagi, restorasi Polri juga harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu contoh yang berhasil adalah program “Polisi Sahabat” yang diluncurkan di beberapa daerah, di mana polisi berinteraksi langsung dengan masyarakat untuk mendengarkan keluhan dan aspirasi mereka. Program ini telah berhasil meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian, dengan peningkatan kepuasan masyarakat mencapai 75% dalam survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih humanis dan partisipatif dapat membawa perubahan positif dalam hubungan antara Polri dan masyarakat.
Dalam konteks ini, penting untuk mengedepankan nilai-nilai demokrasi dalam setiap aspek operasional kepolisian. Kepolisian harus mampu beradaptasi dengan dinamika sosial yang berkembang, termasuk dalam hal kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Dengan adanya pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak masyarakat, diharapkan aparat kepolisian dapat menghindari tindakan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat. Hal ini sejalan dengan amanat reformasi yang menekankan pentingnya penegakan hukum yang berkeadilan dan menghormati hak asasi manusia.
Untuk mewujudkan restorasi Polri yang humanis dan demokratis, dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh elemen kepolisian. Dukungan dari pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait sangat penting dalam proses ini. Melalui kolaborasi yang sinergis, diharapkan Polri dapat menjadi institusi yang lebih baik, yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menjadi mitra bagi masyarakat dalam menciptakan keamanan dan ketertiban.
Transformasi Kultural: Perubahan Paradigma, Etika, dan Perilaku Aparat
Transformasi kultural dalam Polri merupakan langkah strategis untuk mengubah paradigma, etika, dan perilaku aparat kepolisian. Salah satu aspek utama dari transformasi ini adalah perubahan cara pandang aparat terhadap tugas dan fungsi mereka sebagai pelayan masyarakat. Dalam konteks ini, pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan menjadi sangat penting. Oleh karena itu, perlu ada program pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi aparat. Selain itu, etika dalam kepolisian juga harus menjadi fokus utama dalam transformasi kultural. Dalam banyak kasus, pelanggaran etika oleh anggota kepolisian telah menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat sehingga penting untuk menegakkan kode etik yang jelas dan memberikan sanksi tegas bagi anggota yang melanggar.
Perubahan perilaku aparat kepolisian juga harus didorong melalui pendekatan yang lebih humanis. Salah satu contoh yang dapat diadopsi adalah program “Polisi Peduli” yang mengajak anggota kepolisian untuk terlibat dalam kegiatan sosial di masyarakat. Program ini tidak hanya meningkatkan citra Polri, tetapi juga membangun hubungan yang lebih baik antara polisi dan masyarakat. Data menunjukkan bahwa daerah yang menerapkan program ini mengalami penurunan angka kriminalitas sebesar 30% dalam satu tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih humanis dapat memberikan dampak positif terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Selain itu, penting untuk melibatkan masyarakat dalam proses transformasi ini. Salah satu cara yang efektif adalah melalui forum-forum dialog antara kepolisian dan masyarakat. Dalam forum ini, masyarakat dapat menyampaikan pendapat dan masukan terkait pelayanan yang diberikan oleh Polri. Dengan melibatkan masyarakat, Polri dapat lebih memahami kebutuhan dan harapan publik, sehingga dapat menyesuaikan tindakan dan kebijakan yang diambil.
Untuk mencapai transformasi kultural yang efektif, dibutuhkan komitmen dari seluruh jajaran Polri untuk menerapkan nilai-nilai humanis dan demokratis dalam setiap aspek operasional. Dengan adanya perubahan paradigma, etika, dan perilaku yang berorientasi pada pelayanan publik, diharapkan Polri dapat menjadi institusi yang lebih baik dan lebih dipercaya oleh masyarakat.
Transformasi Instrumental: Regulasi, Struktur Kelembagaan, dan Modernisasi Teknologi
Transformasi instrumental dalam Polri berfokus pada aspek regulasi, struktur kelembagaan, dan modernisasi teknologi. Regulasi yang jelas dan tegas sangat penting untuk mendukung kinerja kepolisian dalam menjalankan tugasnya. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah melakukan revisi terhadap undang-undang yang mengatur kepolisian, sehingga lebih sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Modernisasi teknologi juga menjadi aspek penting dalam transformasi instrumental. Dalam era digital saat ini, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kepolisian. Salah satu contoh yang dapat diadopsi adalah penggunaan aplikasi mobile untuk laporan masyarakat. Dengan adanya aplikasi ini, masyarakat dapat melaporkan kejadian kriminal secara langsung dan cepat, sehingga Polri dapat merespons dengan lebih cepat. Selain itu, penting untuk membangun sistem informasi yang terintegrasi antara berbagai lembaga penegak hukum. Dengan adanya sistem yang terintegrasi, diharapkan pertukaran informasi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan akurat. Hal ini akan mempermudah Polri dalam mengidentifikasi dan menangani kasus-kasus kriminal yang kompleks.
Transformasi instrumental dalam Polri harus didukung oleh komitmen dari seluruh jajaran kepolisian untuk menerapkan regulasi, struktur kelembagaan, dan teknologi yang lebih modern. Dengan adanya perubahan ini, diharapkan Polri dapat menjadi institusi yang lebih profesional, transparan, dan akuntabel dalam menjalankan tugasnya.
Integrasi Transformasi Kultural dan Instrumental dalam Mewujudkan Kepolisian yang Humanis dan Demokratis
Integrasi antara transformasi kultural dan instrumental sangat penting untuk mewujudkan Polri yang humanis dan demokratis. Kedua aspek ini saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Misalnya, perubahan budaya yang mendorong nilai-nilai humanis akan lebih efektif jika didukung oleh regulasi yang mendukung transparansi dan akuntabilitas. Sebaliknya, regulasi yang baik akan sulit diterapkan jika tidak didukung oleh perubahan sikap dan perilaku aparat.
Salah satu contoh integrasi ini dapat dilihat dalam program reformasi kepolisian di beberapa negara, seperti Kanada dan Jerman. Di negara-negara tersebut, pemerintah tidak hanya melakukan regulasi, tetapi juga mengedepankan perubahan budaya di dalam institusi kepolisian. Hasilnya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian meningkat secara signifikan.
Langkah Strategis mewujudkan Restorasi Polri
Untuk mewujudkan restorasi Polri yang humanis dan demokratis, diperlukan rekomendasi strategis yang dapat diimplementasikan dalam pelaksanaan transformasi kultural dan instrumental. Pertama, perlu adanya program pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bagi anggota Polri. Program ini harus mencakup aspek pelayanan publik, etika, dan hak asasi manusia. Dengan meningkatkan kapasitas dan kompetensi anggota, diharapkan Polri dapat lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Kedua, penting untuk membangun budaya organisasi yang mendukung nilai-nilai humanis dan demokratis. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan sistem penghargaan bagi anggota yang menunjukkan kinerja baik dalam pelayanan publik. Sebaliknya, sanksi tegas perlu diterapkan bagi anggota yang melanggar kode etik. Dengan adanya sistem yang jelas, diharapkan anggota Polri dapat lebih termotivasi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Ketiga, perlu dilakukan revisi terhadap regulasi yang mengatur kepolisian agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Revisi ini harus melibatkan partisipasi masyarakat dan berbagai pihak terkait, sehingga dapat menghasilkan regulasi yang lebih kompr
ehensif dan akuntabel. Dengan adanya regulasi yang jelas, diharapkan Polri dapat beroperasi dengan lebih baik dan sesuai dengan harapan masyarakat.
Keempat, modernisasi teknologi harus menjadi prioritas dalam transformasi instrumental. Polri perlu memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah membangun sistem informasi yang terintegrasi antara berbagai lembaga penegak hukum. Dengan adanya sistem yang terintegrasi, diharapkan pertukaran informasi dapat dilakukan dengan lebih cepat dan akurat.
Kelima, kolaborasi antara Polri dan masyarakat sangat penting dalam proses restorasi ini. Polri perlu melibatkan masyarakat dalam setiap langkah transformasi, sehingga dapat memahami kebutuhan dan harapan publik. Dengan adanya kolaborasi yang sinergis, diharapkan Polri dapat menjadi institusi yang lebih baik dan lebih dipercaya oleh masyarakat.