Jakarta – Beberapa pihak menyebut bahwa penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Raperda Jakarta akan memperkuat ekonomi rakyat karena membuat lingkungan lebih sehat dan menarik pengunjung. Namun Komite Peduli Jakarta (KPJ) menilai klaim itu terlalu optimistis. Jika regulasi dibuat tanpa kajian matang dan proporsionalitas ruang, KTR bisa mematikan usaha kecil, mengganggu ketenagakerjaan, dan menimbulkan beban ekonomi baru bagi masyarakat.
Menurut KPJ, ada beberapa catatan penting:
1. Risiko bagi usaha hiburan malam dan tenaga kerja
Hiburan malam menyerap banyak pekerja (musik, sound system, bar, MC, petugas keamanan, hospitality). Larangan merokok total bisa mengurangi kenyamanan pengunjung, turun kunjungan, dan berdampak langsung pada omset serta pendapatan pekerja.
Usaha hiburan malam kebanyakan skala mikro dan menengah. Margin keuntungan tipis. Beban tambahan seperti investasi ventilasi atau pemisahan ruang merokok akan memperbesar biaya operasional.
Jika usaha tutup atau mengurangi jam operasi, maka peluang kerja hilang, penghasilan pekerja menurun.
2. Ketidakadilan ruang regulatif
Menyamaratakan ruang hiburan malam dengan ruang publik seperti sekolah atau rumah sakit menabrak karakteristik penggunaan ruang. Pengunjung hiburan malam berbeda dari mereka yang berada di fasilitas publik umum. Kebijakan tanpa pelibatan pihak-pihak terkait — asosiasi pengusaha, akademisi, tokoh masyarakat, organisasi pemuda — bisa menghasilkan regulasi yang “asing” terhadap realitas sosial ekonomi di lapangan.
3. Biaya kepatuhan regulasi yang tidak ringan
Pemasangan sistem ventilasi, pengaturan ruang khusus merokok, atau pemisahan ruang dengan standar kesehatan bisa memerlukan biaya tinggi yang justru dibebankan ke pelaku usaha skala kecil.
Dalam kondisi ekonomi menantang, pelaku usaha prioritas akan memilih pemangkasan pengeluaran agar tetap bisa bertahan, sehingga kebijakan KTR bisa menjadi beban tambahan.
4. Efek substitusi dan perilaku konsumen
Jika larangan terlalu keras, pengunjung yang merokok mungkin memilih tempat hiburan yang tidak taat regulasi (gelap, tak resmi) sehingga malah memperbanyak kegiatan “underground” yang tanpa pengawasan.
Bisa muncul polarisasi pasar: hiburan kelas atas yang bisa mematuhi regulasi vs hiburan pinggiran yang tetap bebas rokok — hal ini bisa menciptakan ketimpangan akses.
KPJ mendesak agar DPRD DKI Jakarta dan pemerintah provinsi menyerap pandangan ini sebagai pengingat bahwa regulasi tak boleh dibuat secara sembrono. Kebijakan kesehatan jangan menjadi alat untuk menyasak ekonomi rakyat. Jika memang KTR akan diterapkan, maka:
1. Pengaturan harus proporsional, selektif, dan berdasarkan zonasi sosial-ekonomi.
2. Pembuat regulasi harus melibatkan asosiasi usaha hiburan, akademisi, tokoh masyarakat, organisasi pemuda, dan komunitas pekerja hiburan.
3. Solusi alternatif seperti ruang khusus merokok dengan ventilasi standar harus diprioritaskan daripada larangan total.
“Bila DPRD tetap mendesakkan KTR total di tempat hiburan malam tanpa mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi, yang tumbuh bukan ekonomi rakyat yang kuat, melainkan regulasi yang mematikan ruang usaha rakyat,” ujar Komite Peduli Jakarta.